Rasanya baru kemarin aku berdiri menunggu didepan
pintu itu.
Telah cukup lama rupanya. Dipagi hari, aku masih
begitu tegap menunggu,
Matahari meninggi, aku mulai nyender di dinding,
matahari beranjak merapat ke ufuk barat, aku kadang jongkok sesekali. ketika
matahari telah kembali keperaduannya aku mulai selonjoran di lantai atau pun
bertelentang kaki. Yah Sedikit melelahkan, namun aku senang melakukannya.
Keesokan hari, aku masih menunggu di depan pintu itu, pekan kedepannya aku
masih menunggu, bulan depan aku tetap menunggu. Sampai akhir tahun aku masih
tetap menunggu di depan pintu itu, menunggu pintu itu terbuka untukku.
Banyak bisikan yang menggema dikupingku,,, sayup-sayup
terdengar menyuruku untuk mengetuk pintu itu, entah sang pemilik akan membuka
pintu itu, mengabaikanku, atau mungkin menendangku jauh-jauh dari pintu itu.
Namun lebih terdengar nyaring bisikan yang menyuruhku untuk meninggalkan pintu
itu.
sedikit pun aku nyaris tak goncang dengan bisikan-bisikan
yang belakangan menghujam kupingku. Aku bermasa bodoh dengan bisikan-bisikan
nyaring itu. Aku masih memilih saran bisikan sayup-sayup, meski sayup namun
membuat beton hatiku makin gigih untuk terus menunggu. Lalu Ku lakukan lagi
rutinitasku menunggu , menunggu dan menunggu di depan pintu yang tak kunjung
terbuka untukku.
Bisikan-bisikan yang beberapa waktu lalu kemudian
padam redam. Kupingku pun adem ayem. Bertahun-tahun berlalu tak pernah lagi ku
dengar bisikan-bisikan nyaring itu. Aku semakin tenang menunggu, harapanku pun
masih sama, nyaris tak ada yang berubah. Semuanya masih sama seperti dulu saat
aku mulai berdiri untuk pertama kali di depan pintu itu. Aku tak berubah pada
pintu itu sepeti matahari yang terbit dan tenggelam setiap hari.
Hingga tahun ke-8 aku masih menunggu di depan
pintu itu.
Ditahun ke-8, entah aku lelah atau bahkan telah
mulai gonjang menunggu di depan pintu yang tak pernah memberi kejelasan padaku,
membukakanku pintu lalu menyuruhku untuk tak keluar lagi atau menghempasku jauh-jauh dari pintu itu. Sekali
saja ku dengar bisikan dari balik pintu itu maka akan ku kabulkan.
Ditahun ke-8 aku mulai risau bahkan sangat risau
Lalu ku putuskan untuk mengetuk pintu itu, aku
sudah tak peduli lagi apa yang akan terjadi setelah ku ketuk pintu. aku
benar-benar mengetuk pintu itu, ku ketuk sekali dengan sangat pelan tak ada
respon, mungkin penghuni kamar tak mendengarnya, ku ketuk untuk kedua kalinya
dengan agak keras masih tak ada respon, entah penghuni kamar tak mendengar atau
mungkin menutup kuping dan hati padaku, pada ketukan ketiga aku mulai tak
semangat dan alhasil pun masih tetap sama tak ada respon.
Ditahun ke-8 akhirnya aku benar-benar lelah
menunggu di depan pintu itu.
Dan ku akhiri rutinitasku menunggu sepanjang
hari, sepanjang waktu selama 8 tahun belakangan. Awalnya begitu berat, begitu
sulit untuk tak menghiraukan pintu itu lagi, menutup lembaran tentang pintu
itu. Lalu ku pikir suatu saat aku pasti akan lupa dengan pintu itu. Aku belajar
banyak dari pintu itu, karenanya aku mengerti tentang ketulusan, keteguhan, dan
membuatku paham bagaimana rasanya pergi dari pintu yang tak pernah terbuka. Yah sesuatu yang ku mulai dengan sendirinya
dan kuakhiri dengan sendirinya. Itulah Seutas celotehku tentang pintu itu.